Jumat, 29 November 2013

PSIKOLOGI DAN PAI BAGI ANAK TUNALARAS



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh manusia, untuk mengubah atau memperbaiki kehidupannya. Pendidikan merupakan hak bagi setiap orang, tak terkecuali bagi anak yang berkebutuhan khusus. ABK merupakan bagian dari dunia pendidikan yang tidak bisa diabaikan, karena mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, terlebih lagi pendidikan Agama Islam, yang tidak hanya penting umtuk dunia, tetapi juga unuk akhirat. Salah satu bagian dari ABK adalah Anak Tunalaras, di mana mereka memiliki masalah di dalam kemampuannya untuk menyelaraskan perilakunya dengan hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan sumber pemicunya, ketunalarasan yang dimiliki oleh anak tunalaras diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dari segi emosi dan juga dari segi sosial. Ketunalarasan disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu, dan faktor yang berasal dari luar individu. Berdasarkan klasifikasi serta faktor penyebabnya, anak tunalaras memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Kecerdasan anak tunalaras tidak jauh berbeda dengan anak normal pada umumnya, hanya saja ketunalarasan yang dimiliki menyebabkan tingkat kecerdasan tidak terlihat dengan jelas. Pribadi yang dimiliki oleh anak tunalaras bukanlah pribadi yang menyenangkan. Kehidupan sosial dengan masyarakat tidak berjalan dengan baik, karena masyarakat merasa terganggu dengan perilaku anak tunalaras. Emosi pada anak tunalaras tidak berkembang secara harmonis dan terkadang tidak bisa dikendalikan. Ketunalarasan tentu saja membawa dampak yang tidak baik, bagi anak tunalaras sendiri, maupun orang lain yang berada di sekitarnya.
Agar anak tunalaras bisa memperbaiki perilakunya sehingga dapat menjalani kehidupannya dengan baik dan merasa nyaman dalam lingkungan sekitarnya, diperlukan bimbingan yang terpadu dan memadai, serta diberikan pemahaman agama secara berangsur dengan pendekatan dan metode yang bisa menggugah nurani mereka.

B.     PERUMUSAN MASALAH

1.      Apakah pengertian dari anak tunalaras ?
2.      Ada berapa klasifikasi dari anak tunalaras ?
3.      Apa saja penyebab anak menjadi tunalaras ?
4.      Seperti apa karakteristik yang dimiliki oleh anak tunalaras ?
5.      Bagaimana perkembangan kognitif pada anak tunalaras ?
6.      Seperti apa perkembangan kepribadian anak tunalaras ?
7.      Bagaimana situasi perkembangan sosial anak tunalaras ?
8.      Seperti apa perkembangan emosi anak tunalaras ?
9.      Apa saja dampak ketunalarasan bagi anak tunalaras ?
10.  Apa saja layanan yang bisa diberikan pada anak tunalaras ?
11.  Bagaimana menanamkan PAI untuk anak tunalaras ?

C.    PEMBATASAN MASALAH
Pembahasan tentang anak tunalaras begitu luas, namun dikarenakan keterbatasan yang dimilik oleh tim penyusun, maka pembahasan dalam makalah ini dibatasi hanya seputar pengenalan terhadap anak tunalaras, bagaimana cara mengatasinya, dan bagaimana cara menanamkan nilai-nilai agama Islam pada mereka.

D.    TUJUAN PENYUSUNAN
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah PAI bagi ABK, makalah ini juga disusun untuk :
1.      Mengetahui arti, klasifikasi, penyebab, dan karakteristik anak tunalaras
2.      Mengetahui perkembangan kognitif, kepribadian, sosial, dan emosi pada anak tunalaras
3.      Mengetahui dampak ketunalarasan
4.      Mengetahui layanan dan PAI bagi anak tunalaras
BAB II
PSIKOLOGI DAN PAI BAGI ANAK TUNA LARAS

A.    PENGERTIAN ANAK TUNALARAS
Menurut ketentuan yang ditetapkan dalam UU Pokok Pendidikan Nomor 12 tahun 1952, Anak Tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.[1]

B.     KLASIFIKASI ANAK TUNALARAS
Ditinjau dari sumber pemicu tumbuhnya perilaku menyimpang pada anak tunalaras, anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi :
1.      Anak yang mengalami kelainan emosi (emotional disturb), yaitu anak yang mengalami kesulitan menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial karena adanya tekanan dari dalam (inner tension), akibat adanya hal-hal yang bersifat neurotic atau psikotic. Indikasi anak berkelainan emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang ditunjukkan dalam bentuk kecemasan yang mendalam (anxiety, neurotism) maupun perilaku psikose. Perilaku anak penyandang kelainan emosi dalam konteks yang lebih besar dapat mengalami penyimpangan penyesuaian perilaku sosial (Kirk, 1970).[2] Anak kelainan emosi, ekspresi wujudnya ditampakkan dalam bentuk sbb :
a.       Kecemasan mendalam tetapi kabur dan tidak menentu arah kecemasan yang dituju (anxiety neurotic). Kondisi ini digunakan sebagai alat untuk mempertahankan diri melalui represi.
b.      Kelemahan seluruh jasmani dan rohani yang disertai dengan berbagai keluhan sakit pada beberapa bagian badannya (astenica neurotic). Kondisi ini terjadi akibat konflik batin atau tekanan emosi yang sukar diselesaikan. Alat untuk mempertahankan diri dari kondisi ini melalui penarikan diri dari pergaulan.
c.       Gejala yang merupakan tantangan balas dendam karena adanya perlakuan yang kasar (bysterica konversia). Kondisi ini terjadi akibat perlakuan kasar yang diterima sehingga ia juga akan berlaku kasar terhadap orang lain sebagai balas dendam untuk kepuasan dirinya.[3]

2.      Penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan sosial, yaitu anak yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya (Mackie, 1957).[4] Anak kesulitan penyesuaian sosial dapat dikelompokkan menjadi :
a.       Anak agresif yang sukar bersosialisasi, yaitu anak yang benar-benar tidak dapat menyesuaikan diri, baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun teman sebaya.
b.      Anak agresif yang mampu bersosialisasi, yaitu anak yang tidak dapat menyesuaikan diri di lingkungan rumah, sekolah, ataupun masyarakat, tetapi mereka masih memiliki bentuk penyesuaian diri yang khusus, yaitu dengan teman sebaya yang senasib (gang).
c.       Anak yang menutup diri berlebihan (over inhibited children), yaitu anak yang tidak dapat menyesuaikan diri karena neurosis.[5]
Ada beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas berat ringannya ketunalarasan (Riadi, 1978; Parton, 1991), yaitu :
1.      Besar kecilnya gangguan emosi. Makin dalam perasaan negatif, makin berat penyimpangan anak.
2.      Frekuensi tindakan, makin sering dan tanpa penyesalan dalam melakukan perbuatan kurang baik, makin dianggap berat penyimpangannya.
3.      Berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Dengan pertimbangan peraturan hukum pidana dapat diketahui berat ringannya pelanggaran, termasuk sanksi hukumnya.
4.      Tempat dan situasi pelanggaran/kejahatan yang dilakukan. Anak yang berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah menunjukkan tingkat keberatannya dibandingkan apabila di rumah atau di sekolah.
5.      Masalah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik. Para pendidik atau orang tua dapat mengetahui seberapa jauh tingkat penyimpangan melalui cara yang digunakan untuk memperbaiki anak.
6.      Tunggal atau gandanya ketunaan yang dialami. Jika anak tunalaras mempunyai ketunaan yang lain, maka dia termasuk dalam kategori berat dalam pembinaannnya.[6]

C.    ETIOLOGI (PENYEBAB) ANAK TUNA LARAS
Secara umum penyebab ketunalarasan dapat diklasifikasikan menjadi :
1.      Faktor penyebab internal, yaitu faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu itu sendiri, seperti :
a.       Faktor Keturunan
Keturunan mempunyai peranan kuat dalam melahirkan generasi berikutnya. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orangtuanya memberikan kontribusi ketunalarasan kepada generasi berikutnya (Patton, 1991). Beberapa perilaku yang menyimpang tersebut di antaranya kawin sedarah, seks maniak, alkoholisme, kleptomania, gangguan kepribadian, dan lain-lain.[7]
b.      Faktor Psikologis
Seseorang yang mengalami kesulitan memecahkan persoalan akan merasakan frustasi, sehingga timbul konflik kejiwaan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik. Akibatnya, timbul perilaku menyimpang sebagai defence mechanism. Perilaku-perilaku tersebut di antaranya agresivism (suka memberontak, mencela, memukul, merusak), regresivism (perilaku yang kekanak-kanakan), resignation (perilaku yang kehilangan arah akibat ketidakmampuan mewujudkan keinginannya karena tekanan otoritas).[8]
c.       Faktor Biologis
Faktor biologis tidak secara khusus berpengaruh pada kelainan perilaku dan emosi. Adakalanya perilaku anak termasuk normal, tetapi yang bersangkutan mengalami kerusakan biologis serius; dan sebaliknya anak secara fisik normal, tetapi menunjukkan gangguan emosi dan perilaku secara serius. Hal yang pasti adalah anak lahir dengan kondisi fisik biologis tertentu akan menentukan style perilaku (temperamen). Anak yang mengalami kesulitan menempatkan temperamennya, akan memberikan kecenderungan untuk berkembangnya kondisi kelainan perilaku dan emosi. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap buruknya temperamen seseorang antara lain penyakit malnutrisi, dan trauma otak (Hallahan & Kauffman, 1991).[9]

2.      Faktor penyebab eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar individu. Seperti :
a.       Faktor Psikososial
Sigmund Freud melalui psikoanalisisnya menjelaskan bahwa ketunalarasan disebabkan pengalaman anak yang tidak menyenangkan pada usia awal sehingga mengakibatkan anak menjadi tertekan dan secara tidak disadari berpengaruh pada penyimpangan perilaku. Pengalaman anak di rumah seperti kualitas hubungan antara ayah, ibu serta saudara sekandungnya memberikan pengaruh yang besar pada perilaku anak. Orang tua yang lemah dalam menegakkan disiplin anak, yang ditandai dengan penolakan, bermusuhan, kekejaman, dapat menumbuhkan perilaku yang menyimpang seperti agresif atau kejahatan lainnya (Hallahan & Kauffman, 1991).[10]

b.      Lingkungan Keluarga
Keluarga dalam hierarkis pendidikan merupakan lembaga pertama dan utama, sebab di lingkungan keluargalah anak mendapatkan pengalaman pertama. Mengingat peranan keluarga sebagai peletak dasar pendidikan anak yang utama, maka keluarga hendaknya dapat memberikan perasaan aman dalam kehidupan anak. Kondisi keluarga yang tidak dapat memberikan rasa aman akan menumbuhkan bibit-bibit ketunalarasan pada anak. Beberapa wujud lingkungan keluarga yang tidak menguntungkan terhadap perkembangan sosial dan emosi anak, seperti : broken home; disorganisasi rumah; sering cek cok; teladan yang kurang baik; dan kurang pembinaan moral dan agama, membantu tumbuh kembangnya kenakalan atau perolehan kompetensi perilaku sosial yang jelek (Hallahan & Kauffman, 1991).[11]
c.       Lingkungan Sekolah
Sekolah sebagai lingkungan pendidikan kedua setelah keluarga mempunyai tugas membantu aspek-aspek kepribadian anak didiknya. Kegagalan sekolah untuk memenuhi tugas dan kewajibannya akan menimbulkan problem tingkah laku pada anak didiknya. Beberapa aspek berkaitan dengan sekolah yang dapat menyebabkan terjadinya ketunalarasan antara lain : hubungan sosial guru dan murid yang kurang harmonis; tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat ;perkembangan anak, hubungan antar teman sebaya yang kurang baik (Moerdiani, 1987); kurang perhatian guru terhadap hal-hal yang bersifat positif dan kontruktif; serta kurangnya sarana dan prasarana pengembangan kreativitas dan aktivitas.[12]
d.      Lingkungan Masyarakat
Standar perilaku dan nilai yang menjadi acuan tindakan yang dikomunikasikan kepada anak melalui berbagai variasi kondisi budaya, di dalamnya menyangkut tuntutan, larangan, model, atau beberapa model budaya khusus yang dapat mempengaruhi lompatan mental seperti macam-macam kekerasan yang ditampilkan melalui media (terutama televisi dan gambar hidup lainnya), memberikan kontribusi yang besar lahirnya perilaku menyimpang (Hallahan & Kauffman, 1991).

Contoh hasil studi tentang ekspresi perilaku agresif orang dewasa kepada boneka yang ditayangkan melalui dua versi film (film kartun bertema kekerasan dan tanpa kekerasan), hasilnya ternyata anak yang menonton film kartun tema kekerasan lebih agresif dalam interaksinya dengan temannya, dan anak yang menonton film kartun tanpa kekerasan menunjukkan perubahan dalam agresi interpersonal (Cosby, 1985; Atkinson, 1999).[13]

D.    KARAKTERISTIK ANAK TUNALARAS
Karakteristik yang dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman (1986), berdasarkan dimensi tingkah laku anak tunalaras adalah sebagai berikut :
1.      Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku, memperlihatkan ciri-ciri antara lain : suka berkelahi, memukul, menyerang, mengamuk, membangkang, menantang, merusak milik sendiri atau milik orang lain, kurang ajar, lancang, melawan, tidak mau bekerja sama, tidak mau memperhatikan, dan lain-lain.
2.      Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan ciri-ciri : khawatir, cemas, ketakutan, kaku, pemalu, segan, menarik diri, terasing, tak berteman, rasa tertekan, sedih, terganggu, rendah diri, dingin, malu, kurang percaya diri, mudah bimbang, sering menangis, pendiam, dan suka berahasia.
3.      Anak yang kurang dewasa, dengan ciri-ciri : yaitu pelamun, kaku, berangan-angan, pasif, mudah dipengaruhi, pengantuk,pembosan, dan kotor.
4.      Anak yang agresif bersosialisasi, dengan ciri-ciri, yaitu mempunyai komplotan jahat, mencuri bersama kelompoknya, loyal terhadap teman nakal, berkelompok dengan geng, suka diluar rumah sampai larut malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.
Berikut ini akan dikemukakan karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik, sosial/emosional, fisik/kesehatan anak tunalaras.
1.      Karakteristik Akademik
Kelainan perilaku akan mengakibatkan adanya penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibat penyesuaian yang buruk tersebut maka dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri antara lain sebagai berikut :
a.       Pencapaian hasil belajar yang jauh dibawah rata-rata
b.      Seringkali dikirim ke kepala sekolah atau ruangan bimbingan untuk tindakan discipliner.
c.       Seringkali tidak naik kelas atau bahkan ke luar sekolahnya
d.      Sering kali membolos sekolah
e.       Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan dengan alasan sakit, perlu istirahat, dan lain-lain.

2.      Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.       Karakteristik sosial
1)      Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain, dengan ciri-ciri : perilaku tidak diterima oleh masyarakat dan biasanya melanggar norma budaya, dan perilaku melanggar aturan keluarga, sekolah, dan rumah tangga.
2)      Perilaku tersebut ditandai dengan tindakan agresif, yaitu tidak mengikuti aturan, bersifat mengganggu, mempunyai sikap membangkang atau menentang, dan tidak dapat bekerja sama.

b.      Karakteristik emosional
1)      Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, seperti tekanan batin dan rasa cemas.
2)      Adanya rasa gelisah, seperti rasa malu, rendah diri, ketakutan, dan sangat sensitif atau perasa.

c.       Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunalaras ditandai dengan adanya gangguan makan, gangguan tidur, dan gangguan gerakan. Seringkali anak merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada jasmaninya, ia mudah mendapat kecelakaan, merasa cemas terhadap kesehatannya, merasa seolah-olah sakit. Kelainan lain yang berwujud kelainan fisik, seperti gagap, buang air tidak terkendali, sering mengompol dan jorok.[14]

E.     PERKEMBANGAN KOGNITIF (FUNGSI KECERDASAN) ANAK TUNALARAS
Dalam berbagai riset IQ, anak tunalaras rata-rata berada pada rentangan dull normal (sekitar IQ 90), dan hanya sedikit yang berada di atas normal (cerdas). Salah satu tolok ukur kecerdasan adalah prestasi belajar. Namun keadaan tersebut tidak dapat diberlakukan pada anak tunalaras. Misalnya prestasi anak tunalaras rendah, hal itu tidak dapat dijadikan acuan kecerdasan anak tunalaras sebab prestasi belajar anak tunalaras seringkali mengalami under achiever (prestasi belajar di bawah kemampuan yang sebenarnya). Hal ini dapat diperbaiki melalui remedial atau layanan khusus.[15]
Moerdiani (1987) menilai bahwa rendahnya prestasi belajar anak tunalaras di sekolah diduga karena kehilangan minat belajar dan konsentrasi belajar rendah akibat gangguan emosi. Di samping itu, mereka pada umumnya membenci sekolah sebab sekolah menuntut anak tunalaras untuk mentaati peraturan atau norma-norma yang berlaku.[16]

F.     PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK TUNALARAS
Dalam perkembangannya, kepribadian tiap individu sangat beragam. Erickson berpendapat bahwa identitas pribadi manusia tumbuh dan terbentuk melalui perkembangan proses krisis psikososial yang berlangsung dari fase ke fase. Asumsinya, bahwa setiap individu yang sedang berkembang dipaksa harus menyadari dan berinteraksi dengan lingkungan sosial yang semakin luas. Jika individu yang bersangkutan mampu mengatasi krisis psikososial yang muncul secara tepat, berarti ia mampu mengaktualisasikan kepribadiannya secara optimal. Sebaliknya, jika ia tidak mampu mengatasi krisis psikososial tersebut dengan baik, maka ia akan larut ditelan arus kehidupannya yang terus berkembang ( Makmun, 1990).[17]
Anak yang mengalami kelainan perilaku, kehidupan emosi atau perkembangan sosialnya berada dalam rentangan yang tidak menyenangkan. Hal ini disebabkan karena mereka pada umumnya tidak mampu mengintegrasikan fungsi-fungsi psikofisiknya untuk memahami diri dan lingkungannya, akibatnya mereka menunjukkan kepribadian yang pasif maupun kepribadian yang agresif. Beberapa ciri yang tampak menonjol pada kepribadian anak tunalaras antara lain :
1.      Kurang percaya diri
2.      Menunjukkan sikap curiga pada orang lain
3.      Selalu dihinggapi perasaan rendah diri
4.      Selalu menunjukkan permusuhan terhadap orang lain
5.      Suka melawan otorita, dan lain-lain (Moerdani, 1987).[18]

G.    PERKEMBANGAN PENYESUAIAN SOSIAL ANAK TUNALARAS
Secara umum, kebutuhan dasar individu (basic needs) dapat menjadi kebutuhan primer (survival needs) dan sekunder (pelengkap). Dalam setiap proses pemenuhan kebutuhan, seseorang seringkali harus berhadapan dengan sejumlah alternatif, baik yang berkenaan dengan instrumental behavior (kemungkinan tindakan yang akan ditempuh) maupun goals (tujuan yang hendak dicapai) dengan memperhitungkan untung ruginya (Makmun, 1990).[19] Apabila dalam proses tersebut mereka mampu menyelesaikan rintangan yang menjadi hambatan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan sebagai dasar dalam proses penyesuaian diri, maka ia telah melakukan tindakan penyesuaian yang sehat rasional sehingga mencapai tujuan (adjusted). Akan tetapi, jika mereka tidak dapat mengatasi tantangan yang menghadang, maka ia akan mengalami kekecewaan yang mendalam (frustasi).
Tantangan sebagai penyebab timbulnya frustasi dapat bersumber pada diri pribadi, orang lain, peristiwa tertentu, dan lain-lain. Sedangkan intensitas dan ragamnya tergantung pada kemampuan akal sehat yang bersangkutan.
Anak tunalaras dalam melewati proses penyesuaian seperti digambarkan sebelumnya, kerapkali mengalami kegagalan dalam menyelesaikan tantangan yang selalu merintangi dalam upaya penyesuaian terhadap lingkungan secara tepat dan harmonis. Kegagalan anak tunalaras untuk melakukan penyesuaian dapat memberi peluang bagi tumbuh kembangnya perilaku menyimpang sebagai bagian dari kompensasinya.
Di sinilah persoalannya, di satu sisi, sebagai bagian integral dari kelompok masyarakat yang berbudaya, anak tunalaras dituntut untuk melakukan penyesuaian secara adekuat (memenuhi syarat/ memadai), tetapi di sisi lain, apa yang dilakukan anak tunalaras tidak jarang menimbulkan masalah, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena apa yang diupayakan oleh anak tunalaras dianggap kurang efektif dan selaras dengan tuntutan atau norma yang berlaku di lingkungannya. Bahkan beberapa tingkatan tertentu apa yang telah dilakukan oleh anak tunalaras telah mengarah pada tindakan antisosial sehingga peran pembimbing betul-betul dituntut lebih aktif dalam membantu anak tunalaras dalam upayanya untuk mengurangi dan menghilangkan kecenderungan bertindak menyimpang dan merugikan semua pihak.[20]


H.    PERKEMBANGAN EMOSI ANAK TUNALARAS
Terganggunya perkembangan emosi merupakan penyebab dari tingkah laku anak tunalaras. Ciri yang menonjol pada mereka adalah kehidupan emosi yang tidak stabil, ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat, dan pengendalian diri yang kurang sehingga mereka seringkali menjadi sangat emosional. Terganggunya kehidupan emosi ini terjadi sebagai akibat ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan.
Kematangan emosional seorang anak ditentukan dari hasil interaksi dengan lingkungannya, di mana anak belajar tentang bagaimana emosi itu hadir dan bagaimana cara untuk mengekspresikan emosi-emosi tersebut. Perkembangan emosi ini berlangsung terus menerus sesuai perkembangan usia, akan semakin banyak  pengalaman emosional yang diperoleh anak, ia semakin banyak pula merasakan berbagai macam perasaan.
Akan tetapi tidak demikian dengan anak tunalaras, ia tidak mampu belajar dengan baik dalam merasakan dan menghayati berbagai macam emosi yang  mungkin dapat dirasakan, kehidupan emosinya kurang bervariasi dan ia pun kurang dapat mengerti dan menghayati perasaan orang lain. Mereka juga kurang mampu mengendalikan emosinya dengan baik sehingga seringkali terjadi peledakan emosi. Ketidakstabilan emosi ini menimbulkan penyimpangan tingkah laku, misalnya: mudah marah dan mudah tersinggung, kurang mampu memahami perasaan orang lain, berperilaku agresif, menarik diri, dan sebagainya. Perasaan-perasaan seperti itu akan mengganggu situasi belajar dan akan mengakibatkan prestasi belajar yang tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya.[21]

I.       DAMPAK KETUNALARASAN BAGI INDIVIDU DAN LINGKUNGAN
Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai dampak negatif  bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Perasaan tidak berguna bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan bersalah menyebabkan mereka merasakan adanya jarak dengan lingkungannya. Salah satu dampak serius yang mereka alami adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang mendapatkan perhatian dan penanganan dengan segera, maka mereka akan semakin terperosok dalam jarak yang memisahkan mereka dari lingkungannya.[22]

J.      LAYANAN BAGI ANAK TUNALARAS
1.      Jenis - jenis layanan
Dalam buku pengantar pendidikan luar biasa dikemukakan beberapa hal, seperti berikut :
a.       Mengurangi atau menghilangkan kondisi yang tidak menguntungkan yang menimbulkan atau menambah adanya gangguan perilaku.
Kauffman (1985) mengemukakan ada enam kondisi yang menyebabkan ketunalarasan dan kegagalan belajar, yaitu:
1)      Guru yang tidak sensitif terhadap kepribadian anak
2)      Harapan guru yang tidak wajar
3)      Pengelolaan belajar yang tidak konsisten
4)      Pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional
5)      Pola reinforcement yang keliru, misalnya diberikan pada saat anak berperilaku tidak wajar
6)      Model/contoh yang tidak baik dari guru dan dari teman sebaya.
Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan tersebut agar dihindari sehingga tidak terjadi perkembangan anak ke arah penyimpangan perilaku dan kegagalan akademiknya. Lingkungan sekolah yang ditata dengan baik akan menyenangkan anak belajar dan terhindar dari perasaan bosan, lelah, serta tingkah laku yang tidak wajar.



b.      Menentukan model-model dan teknik pendekatan
1)      Model pendekatan
Sehubungan dengan model yang digunakan dalam memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan jenis-jenis model pendekatan sebagai berikut :
a)      Model biogenetic
Model ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku disebabkan oleh kecacatan genetik atau biokimiawi sehingga penyembuhannya ditekankan pada pengobatan, diet, olahraga, operasi, atau mengubah lingkungannya.
b)      Model behavioral (tingkah laku)
Model ini mempunyai asumsi bahwa gangguan emosi merupakan indikasi ketidakmampuan menyesuaikan diri yang terbentuk, bertahan, dan mungkin berkembang karena berinteraksi dengan lingkungan, baik di sekolah maupun di rumah. Oleh karena itu, penanganannya tidak hanya ditujukan kepada anak tetapi pada lingkungan tempat anak belajar dan tinggal.
c)      Model psikodinamika
Model ini berpandangan bahwa perilaku yang menyimpang atau gangguan emosi disebabkan oleh gangguan atau hambatan yang terjadi dalam proses perkembangan kepribadian karena berbagai faktor, sehingga kemampuan yang diharapkan sesuai dengan usianya terganggu. Ada juga yang mengatakan adanya konflik batin yang tidak teratasi. Oleh karena itu, untuk mengatasi gangguan perilaku tersebut dapat diadakan pengajaran psikoedukasional, yaitu menggabungkan usaha membantu anak dalam mengekspresikan dan mengendalikan perasaannya.
d)     Model ekologis
Model ini menganggap bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena adanya disfungsi antara anak dengan lingkungannya. Oleh karena itu, model ini menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar mengupayakan interaksi yang baik antara anak dengan lingkungannya, misalnya dengan mengubah persepsi orang dewasa tentang anak atau memodifikasi persepsi anak dengan lingkungannya. Rhoden (1967) menyatakan bahwa masalah perilaku adalah akibat interaksi destruktif antara anak dengan lingkungannya (keluarga, teman sebaya, guru, dan sekelompok kebudayaannya).

2)      Teknik pendekatan
Beberapa teknik pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah perilaku, di antaranya adalah sebagai berikut :
a)      Perawatan dengan obat
Kavale dan Nye (1984) mengemukakan bahwa obat-obatan dapat mengurangi atau menghilangkan gangguan perilaku, seperti adanya perbaikan perhatian, hasil belajar dan nilai tes yang baik, serta anak hiperaktif menuju ke arah perbaikan.
b)      Modifikasi perilaku
Salah satu teknik yang banyak dilakukan untuk mendorong perilaku prososial dan mengurangi perilaku antisosial adalah penyesuaian perilaku melalui operant conditioning dan task analysis (analisis tugas). Dengan operant conditioning kita mengendalikan stimulus yang mengikuti respons. Ada beberapa langkah melakukan modifikasi perilaku, yaitu: menjelaskan perilaku yang akan diubah, menyediakan bahan yang mengharuskan anak untuk duduk diam, dan mengatakan perilaku yang diterima. Task analysis dilaksanakan dengan cara menata tujuan dan tugas dengan lengkap, membuat tugas dengan terperinci sehingga anak dapat melakukannya, kemudian anak mengerjakan tugas itu dalam jangka waktu tertentu. Berikanlah pujian bila anak berhasil dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

c)      Strategi psikodinamika
Tujuan utama pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi sadar akan kebutuhannya, keinginannya, dan kekuatannya sendiri. Penganjur strategi ini menyarankan agar dilakukan evaluasi diagnostik, perawatan, pengambilan keputusan, dan prosedur psikiatrik. Mereka melihat bahwa perilaku maladaptive adalah pertanda konflik jiwa. Mereka percaya bahwa penyingkiran suatu gejala tanpa menghilangkan penyebabnya hanya akan menyebabkan penggantian dengan gejala lainnya.
d)     Strategi ekologi
Pendukung strategi ini mengasumsikan bahwa dengan diciptakannya lingkungan yang baik maka perilaku anak akan baik pula.

2.      Tempat layanan
Tempat layanan pendidikan bagi anak yang mengalami gangguan perilaku adalah ditempatkan di sekolah khusus dan ada pula yang dimasukkan dalam kelas-kelas biasa yaitu belajar bersama-sama dengan anak normal. Berikut ini akan dikemukakan macam-macam tempat pendidikan anak tunalaras.
a.       Tempat khusus
Tempat ini dikenal dengan Sekolah Luar Biasa Anak Tunalaras (SLB-E). Sama halnya dengan sekolah luar biasa yang lain, SLB-E memiliki kurikulum dan struktur pelaksanaan yang disesuaikan dengan keadaan anak tunalaras. Anak yang diterima pada lembaga khusus ini biasanya anak yang mengalami gangguan perilaku yang sedang dan berat. Maksudnya perilaku anak  telah mengarah pada tindakan kriminal dan sangat mengganggu lingkungannya. Pelaksanaan pendidikan anak tunalaras dapat dilihat pada pelaksanaan pendidikan anak luar biasa jenis lainnya, karena prinsipnya adalah sama.


b.      Tempat integrasi (terpadu)
Dari banyak jenis anak tunalaras, ada 3 jenis, yaitu hiperaktif, distraktibilitas, dan impulsivilitas yang kemungkinan banyak dijumpai di sekolah biasa (umum), di mana mereka belajar bersama-sama dengan anak normal.

3.      Macam-macam layanan
Di dalam pelaksanaan layanan pendidikan, kita mengenal macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras/sosial sebagai berikut:
a.       Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler
b.      Penyelenggaraan bimbingan di kelas khusus, apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
c.       Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama, bagi anak tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
d.      Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.[23]

K.    PAI UNTUK ANAK TUNALARAS
            Tujuan Pendidikan Agama Islam adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa, yang memiliki akhlak mulia, sehingga selamat di dunia dan di akhirat.
            Tujuan PAI pada anak tunalaras adalah agar mereka mampu mengatasi masalah emosi sosialnya, sehingga mereka bisa memiliki akhlak yang baik, yang bisa mereka terapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Untuk mencapai tujuan itu, ada beberapa pendekatan dan juga metode yang bisa digunakan , antara lain :
1.      Pendekatan
a.       Pendekatan Pengalaman
Pendekatan ini merupakan pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. Dengan pendekatan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman keagamaan baik secara individual maupun kelompok.
b.      Pendekatan Pembiasaan
Pendekatan ini dimaksudkan agar seseorang memiliki kebiasaan berbuat hal-hal yang baik sesuai dengan ajaran agama Islam. Edi Suardi dalam bukunya, Pedagogik 2, menjelaskan bahwa ”kebiasaan itu adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan dulu, serta berlaku begitu saja tanpa dipikir lagi” ( Edi Suardi, tt : 123 ). Pembiasaan memberikan kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
c.       Pendekatan Emosional
Emosi merupakan gejala kejiwaan yang ada di dalam diri seseorang. Emosi tersebut berhubungan dengan masalah perasaan. Karena itu pendekatan emosional merupakan ”usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk ” ( Ramayulis, 2005 : 129 ). Emosi berperan dalam pembentukan kepribadian seseorang, oleh karena itu pendekatan emosional merupakan salah satu pendekatan dalam Pendidikan Agama Islam.
d.      Pendekatan Rasional
 Pendekatan rasional merupakan suatu pendekatan yang mempergunakan rasio ( akal ) dalam memahami dan menerima suatu ajaran agama. Dengan mempergunakan akalnya seseorang bisa membedakan mana yang baik, mana yang lebih baik, atau mana yang tidak baik.

e.       Pendekatan Fungsional
Pendekatan ini merupakan upaya memberikan materi pembelajaran dengan menekankan kepada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dan bimbingan untuk melakukan shalat misalnya, diharapkan berguna bagi kehidupan seseorang, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosial. Melalui pendekatan fungsional ini berarti peserta didik dapat memanfaatkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
f.       Pendekatan Keteladanan
Pendekatan keteladanan adalah memperlihatkan keteladanan atau memberikan contoh yang baik. Guru yang senantiasa bersikap baik kepada setiap orang misalnya, secara langsung memberikan keteladanan bagi anak didiknya. Keteladanan pendidik terhadap anak didiknya merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembelajaran. Hal ini disebabkan karena guru akan menjadi tokoh identifikasi dalam pandangan anak yang akan dijadikannya sebagai teladan dalam mengidentifikasikan diri dalam kehidupannya.[24]

2.      Metode
a.       Metode Dialog Qur’āni dan Nabawi
Metode dialog qur’āni dan nabawi adalah metode pendidikan dengan cara berdiskusi sebagaimana yang digunakan oleh Alquran dan atau hadis-hadis nabi. Metode ini, disebut pula metode khiwār yang meliputi dialog khitābi dan ta’abbudi (bertanya dan lalu menjawab); dialog deskriptif dan dialog naratif (menggambarkan dan lalu mencermati); dialog argumentatif (berdiskusi lalu mengemukakan alasan kuat); dan dialog Nabawi (menanamkan rasa percaya diri, lalu beriman). Untuk yang terakhir ini, (dialog Nabawi) sering dipraktekkan oleh sahabat ketika mereka bertanya sesuatu kepada Nabi saw.
b.      Metode Kisah Qur’āni dan Nabawi
Metode kisah disebut pula metode “cerita” yakni cara mendidik dengan
mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis dengan menyampaikan pesan dari sumber pokok sejarah Islam, yakni al-Qur’an dan Hadis.
c.       Metode Perumpamaan
Metode ini, disebut pula metode “amtsāl” yakni cara mendidik dengan memberikan perumpamaan, sehingga mudah memahami suatu konsep. Perumpamaan yang diungkapkan al-Qur’an memiliki tujuan edukatif yang ditunjukkan oleh kedalaman makna dan ketinggian maksudnya.
d.      Metode Keteladanan
Metode ini, disebut pula metode “meniru” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladan yang baik kepada anak didik.
e.       Metode Ibrah dan Mau’izhah
Metode ini, disebut pula metode “nasehat” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan motivasi. Metode ibrah dan atau mau’izhah (nasehat) sangat efektif dalam pembentukan keimanan, mempersiapkan moral, spiritual dan sosial anak didik. Nasehat dapat membukakan mata anak didik terhadap hakekat sesuatu, serta memotivasinya untuk bersikap luhur, berakhlak mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam.
f.       Metode Targhib dan Tarhib
Metode ini, disebut pula metode “ancaman” dan atau “intimidasi” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan hukuman atas kesalahan yang dilakukan peserta didik.[25]
            Pendidikan Agama Islam untuk anak tunalaras diberikan secara berangsur-angsur dan perlahan, disesuaikan dengan kondisi emosi dan sosial mereka. Dengan demikian diharapkan agar mereka bisa memperbaiki keadaan jiwa mereka, dan semakin lama semakin siap untuk memiliki akhlak yang baik, yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku, sehingga mereka bisa diterima oleh masyarakat.
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
            Anak Tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan dari peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, dengan frekuensi yang cukup besar sehingga membuat kesulitan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
            Ditinjau dari sumber pemicunya, anak tunalaras terbagi menjadi dua, yaitu anak yang mengalami gangguan emosi dan anak yang mengalami gangguan sosial, di mana anak yang mengalami gangguan emosi dalam konteks yang lebih besar dapat mengalami gangguan sosial.
            Faktor-faktor yang menimbulkan ketunalarasan terbagi menjadi dua, yaitu yang berupa faktor internal, seperti : keturunan, psikologis, dan biologis; serta faktor eksternal, seperti : psikososial, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
            Anak tunalaras memiliki karakteristik berupa kekacauan tingkah laku, perasaan cemas dan menarik diri, anak yang kurang dewasa, dan anak yang agresif bersosialisasi.
            Dari segi kognitif, prestasi anak tidak bisa dijadikan tolok ukur kecerdasannya. Perkembangan kepribadian anak tunalaras bisa berupa kepribadian yang pasif, atau kepribadian yang agresif. Anak tunalaras sering mengalami kegagalan dalam upaya penyesuaian terhadap lingkungan secara tepat dan harmonis, sehingga mengganggu perkembangan kehidupan sosialnya. Emosi anak tunalaras tidak stabil, mereka tidak mampu mengekspresikan emosi secara tepat, dan pengendalian diri yang kurang sehingga mereka menjadi emosional.
            Ketunalarasn berdampak baik bagi diri anak tunalaras sendiri maupun bagi orang lain. Ketunalarasan membuat anak tunalaras membuat jarak dengan lingkungannya, dan juga menimbulkan tekanan batin yang berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan merusak diri sendiri.
            Usaha untuk memperbaiki kondisi emosi sosial anak tunalaras antara lain dengan cara menghilangkan kondisi yang menimbulkan gangguan perilaku, menentukan model dan teknik pendekatan yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah perilaku, memberikan tempat layanan yang memadai, dan memberikan layanan sesuai dengan kondisi anak, serta memberikan bimbingan pendidikan agama Islam untuk memperbaiki akhlak anak tunalaras, sehingga mereka memiliki akhlak yang mulia, yang bermanfaat bagi keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.

B.     SARAN
            Anak tunalaras merupakan bagian yang tidak bisa dipungkiri dalam dunia kehidupan kita. Sebagai masyarakat pada umumnya, dan tenaga pendidik pada khususnya, sudah seharusnya kita mengenali anak tunalaras, agar kita bisa mengerti masalah yang mereka hadapi, dan kita bisa membantu mereka mengatasi masalahnya tersebut.










DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mohammad Efendi, M. Pd., M. Kes., Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2009

Phierquinn, anak tuna laras dan karakteristiknya, 2012, http://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/

Abdul Azis, Pendekatan dalam Pembelajaran PAI, 2009, http://islamblogku.blogspot.com/2009/08/pendekatan-dalam-pembelajaran-pai.html

Tuan Guru, Metode Pembelajaran dalam PAI, 2012, http://www.tuanguru.com/2011/11/metode-pembelajaran-dalam-pendidikan-agama-islam.html


[1] Dr. Mohammad Efendi, M. Pd., M. Kes., Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm 143
[2] Ibid, hlm 145
[3]Ibid, hlm 146
[4]Ibid, hlm 144
[5]Ibid, hlm 145
[6]Ibid, hlm 146-147
[7]Ibid, hlm 148
[8]Ibid, hlm 148-149
[9]Ibid, hlm 149
[10]Ibid, hlm 149-150
[11]Ibid, hlm 150
[12]Ibid, hlm 150-151
[13]Ibid, hlm 151

[14]Phierquinn, anak tuna laras dan karakteristiknya, 2012, http://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/

[15] Dr. Mohammad Efendi, M. Pd., M. Kes,. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm 154-155
[16]Ibid, 2009, hlm 155
[17] Ibid, hlm 156
[18]Ibid, hlm 156
[19]Ibid, hlm 157
[20] Ibid, hlm 157-159
[21] Phierquinn, Anak Tunalaras dan Karakteristiknya, 2012, http://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/
[22]Ibid
[23]Ibid
[24] Abdul Azis, Pendekatan dalam Pembelajaran PAI, 2009, http://islamblogku.blogspot.com/2009/08/pendekatan-dalam-pembelajaran-pai.html
[25] Tuan Guru, Metode Pembelajaran dalam PAI, 2012, http://www.tuanguru.com/2011/11/metode-pembelajaran-dalam-pendidikan-agama-islam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar