BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh
manusia, untuk mengubah atau memperbaiki kehidupannya. Pendidikan merupakan hak
bagi setiap orang, tak terkecuali bagi anak yang berkebutuhan khusus. ABK
merupakan bagian dari dunia pendidikan yang tidak bisa diabaikan, karena mereka
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, terlebih lagi pendidikan
Agama Islam, yang tidak hanya penting umtuk dunia, tetapi juga unuk akhirat.
Salah satu bagian dari ABK adalah Anak Tunalaras, di mana mereka memiliki
masalah di dalam kemampuannya untuk menyelaraskan perilakunya dengan hukum yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan sumber pemicunya, ketunalarasan yang
dimiliki oleh anak tunalaras diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dari segi
emosi dan juga dari segi sosial. Ketunalarasan disebabkan oleh dua faktor, yaitu
faktor yang berasal dari dalam diri individu, dan faktor yang berasal dari luar
individu. Berdasarkan klasifikasi serta faktor penyebabnya, anak tunalaras
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Kecerdasan anak tunalaras tidak jauh berbeda dengan
anak normal pada umumnya, hanya saja ketunalarasan yang dimiliki menyebabkan
tingkat kecerdasan tidak terlihat dengan jelas. Pribadi yang dimiliki oleh anak
tunalaras bukanlah pribadi yang menyenangkan. Kehidupan sosial dengan
masyarakat tidak berjalan dengan baik, karena masyarakat merasa terganggu
dengan perilaku anak tunalaras. Emosi pada anak tunalaras tidak berkembang
secara harmonis dan terkadang tidak bisa dikendalikan. Ketunalarasan tentu saja
membawa dampak yang tidak baik, bagi anak tunalaras sendiri, maupun orang lain
yang berada di sekitarnya.
Agar anak tunalaras bisa memperbaiki perilakunya
sehingga dapat menjalani kehidupannya dengan baik dan merasa nyaman dalam
lingkungan sekitarnya, diperlukan bimbingan yang terpadu dan memadai, serta
diberikan pemahaman agama secara berangsur dengan pendekatan dan metode yang
bisa menggugah nurani mereka.
B. PERUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian dari anak tunalaras ?
2.
Ada berapa klasifikasi dari anak
tunalaras ?
3.
Apa saja penyebab anak menjadi tunalaras
?
4.
Seperti apa karakteristik yang dimiliki
oleh anak tunalaras ?
5.
Bagaimana perkembangan kognitif pada
anak tunalaras ?
6.
Seperti apa perkembangan kepribadian
anak tunalaras ?
7.
Bagaimana situasi perkembangan sosial
anak tunalaras ?
8.
Seperti apa perkembangan emosi anak
tunalaras ?
9.
Apa saja dampak ketunalarasan bagi anak
tunalaras ?
10. Apa
saja layanan yang bisa diberikan pada anak tunalaras ?
11. Bagaimana
menanamkan PAI untuk anak tunalaras ?
C. PEMBATASAN MASALAH
Pembahasan tentang anak tunalaras begitu luas, namun
dikarenakan keterbatasan yang dimilik oleh tim penyusun, maka pembahasan dalam
makalah ini dibatasi hanya seputar pengenalan terhadap anak tunalaras,
bagaimana cara mengatasinya, dan bagaimana cara menanamkan nilai-nilai agama
Islam pada mereka.
D. TUJUAN PENYUSUNAN
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah PAI bagi
ABK, makalah ini juga disusun untuk :
1.
Mengetahui arti, klasifikasi, penyebab,
dan karakteristik anak tunalaras
2.
Mengetahui perkembangan kognitif, kepribadian,
sosial, dan emosi pada anak tunalaras
3.
Mengetahui dampak ketunalarasan
4.
Mengetahui layanan dan PAI bagi anak
tunalaras
BAB II
PSIKOLOGI DAN PAI BAGI ANAK TUNA
LARAS
A. PENGERTIAN ANAK TUNALARAS
Menurut ketentuan yang ditetapkan dalam UU Pokok
Pendidikan Nomor 12 tahun 1952, Anak Tunalaras adalah individu yang mempunyai
tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan
pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup
besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta
mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri
maupun orang lain.[1]
B. KLASIFIKASI ANAK TUNALARAS
Ditinjau dari sumber pemicu tumbuhnya perilaku
menyimpang pada anak tunalaras, anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi :
1.
Anak yang mengalami kelainan emosi (emotional disturb), yaitu anak yang
mengalami kesulitan menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial karena
adanya tekanan dari dalam (inner tension),
akibat adanya hal-hal yang bersifat neurotic
atau psikotic. Indikasi anak
berkelainan emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang ditunjukkan dalam
bentuk kecemasan yang mendalam (anxiety,
neurotism) maupun perilaku psikose.
Perilaku anak penyandang kelainan emosi dalam konteks yang lebih besar dapat mengalami
penyimpangan penyesuaian perilaku sosial (Kirk, 1970).[2]
Anak kelainan emosi, ekspresi wujudnya ditampakkan dalam bentuk sbb :
a.
Kecemasan mendalam tetapi kabur dan
tidak menentu arah kecemasan yang dituju (anxiety
neurotic). Kondisi ini digunakan sebagai alat untuk mempertahankan diri
melalui represi.
b.
Kelemahan seluruh jasmani dan rohani
yang disertai dengan berbagai keluhan sakit pada beberapa bagian badannya (astenica neurotic). Kondisi ini terjadi
akibat konflik batin atau tekanan emosi yang sukar diselesaikan. Alat untuk
mempertahankan diri dari kondisi ini melalui penarikan diri dari pergaulan.
c.
Gejala yang merupakan tantangan balas
dendam karena adanya perlakuan yang kasar (bysterica
konversia). Kondisi ini terjadi akibat perlakuan kasar yang diterima
sehingga ia juga akan berlaku kasar terhadap orang lain sebagai balas dendam
untuk kepuasan dirinya.[3]
2.
Penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk
kelainan sosial, yaitu anak yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan
adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya
(Mackie, 1957).[4]
Anak kesulitan penyesuaian sosial dapat dikelompokkan menjadi :
a.
Anak agresif yang sukar bersosialisasi, yaitu
anak yang benar-benar tidak dapat menyesuaikan diri, baik di lingkungan rumah,
sekolah, maupun teman sebaya.
b.
Anak agresif yang mampu bersosialisasi, yaitu
anak yang tidak dapat menyesuaikan diri di lingkungan rumah, sekolah, ataupun
masyarakat, tetapi mereka masih memiliki bentuk penyesuaian diri yang khusus,
yaitu dengan teman sebaya yang senasib (gang).
c.
Anak yang menutup diri berlebihan (over inhibited children), yaitu anak
yang tidak dapat menyesuaikan diri karena neurosis.[5]
Ada beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk
menentukan intensitas berat ringannya ketunalarasan (Riadi, 1978; Parton,
1991), yaitu :
1.
Besar kecilnya gangguan emosi. Makin
dalam perasaan negatif, makin berat penyimpangan anak.
2.
Frekuensi tindakan, makin sering dan
tanpa penyesalan dalam melakukan perbuatan kurang baik, makin dianggap berat
penyimpangannya.
3.
Berat ringannya kejahatan yang
dilakukan. Dengan pertimbangan peraturan hukum pidana dapat diketahui berat
ringannya pelanggaran, termasuk sanksi hukumnya.
4.
Tempat dan situasi pelanggaran/kejahatan
yang dilakukan. Anak yang berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah
menunjukkan tingkat keberatannya dibandingkan apabila di rumah atau di sekolah.
5.
Masalah sukarnya dipengaruhi untuk
bertingkah laku baik. Para pendidik atau orang tua dapat mengetahui seberapa
jauh tingkat penyimpangan melalui cara yang digunakan untuk memperbaiki anak.
6.
Tunggal atau gandanya ketunaan yang
dialami. Jika anak tunalaras mempunyai ketunaan yang lain, maka dia termasuk
dalam kategori berat dalam pembinaannnya.[6]
C. ETIOLOGI (PENYEBAB) ANAK TUNA LARAS
Secara umum penyebab ketunalarasan dapat
diklasifikasikan menjadi :
1.
Faktor penyebab internal, yaitu faktor-faktor
yang langsung berkaitan dengan kondisi individu itu sendiri, seperti :
a.
Faktor Keturunan
Keturunan mempunyai
peranan kuat dalam melahirkan generasi berikutnya. Perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh orangtuanya memberikan kontribusi ketunalarasan kepada generasi
berikutnya (Patton, 1991). Beberapa perilaku yang menyimpang tersebut di
antaranya kawin sedarah, seks maniak, alkoholisme, kleptomania, gangguan
kepribadian, dan lain-lain.[7]
b.
Faktor Psikologis
Seseorang yang
mengalami kesulitan memecahkan persoalan akan merasakan frustasi, sehingga
timbul konflik kejiwaan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik. Akibatnya,
timbul perilaku menyimpang sebagai defence
mechanism. Perilaku-perilaku tersebut di antaranya agresivism (suka memberontak, mencela, memukul, merusak), regresivism (perilaku yang
kekanak-kanakan), resignation (perilaku
yang kehilangan arah akibat ketidakmampuan mewujudkan keinginannya karena
tekanan otoritas).[8]
c.
Faktor Biologis
Faktor biologis tidak
secara khusus berpengaruh pada kelainan perilaku dan emosi. Adakalanya perilaku
anak termasuk normal, tetapi yang bersangkutan mengalami kerusakan biologis
serius; dan sebaliknya anak secara fisik normal, tetapi menunjukkan gangguan
emosi dan perilaku secara serius. Hal yang pasti adalah anak lahir dengan
kondisi fisik biologis tertentu akan menentukan style perilaku (temperamen). Anak yang mengalami kesulitan
menempatkan temperamennya, akan memberikan kecenderungan untuk berkembangnya
kondisi kelainan perilaku dan emosi. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi
terhadap buruknya temperamen seseorang antara lain penyakit malnutrisi, dan trauma otak (Hallahan
& Kauffman, 1991).[9]
2.
Faktor penyebab eksternal, yaitu faktor-faktor
yang berasal dari luar individu. Seperti :
a.
Faktor Psikososial
Sigmund Freud melalui
psikoanalisisnya menjelaskan bahwa ketunalarasan disebabkan pengalaman anak yang
tidak menyenangkan pada usia awal sehingga mengakibatkan anak menjadi tertekan
dan secara tidak disadari berpengaruh pada penyimpangan perilaku. Pengalaman
anak di rumah seperti kualitas hubungan antara ayah, ibu serta saudara
sekandungnya memberikan pengaruh yang besar pada perilaku anak. Orang tua yang
lemah dalam menegakkan disiplin anak, yang ditandai dengan penolakan,
bermusuhan, kekejaman, dapat menumbuhkan perilaku yang menyimpang seperti
agresif atau kejahatan lainnya (Hallahan & Kauffman, 1991).[10]
b.
Lingkungan Keluarga
Keluarga dalam hierarkis
pendidikan merupakan lembaga pertama dan utama, sebab di lingkungan keluargalah
anak mendapatkan pengalaman pertama. Mengingat peranan keluarga sebagai peletak
dasar pendidikan anak yang utama, maka keluarga hendaknya dapat memberikan
perasaan aman dalam kehidupan anak. Kondisi keluarga yang tidak dapat
memberikan rasa aman akan menumbuhkan bibit-bibit ketunalarasan pada anak.
Beberapa wujud lingkungan keluarga yang tidak menguntungkan terhadap
perkembangan sosial dan emosi anak, seperti : broken home; disorganisasi rumah; sering cek cok; teladan yang
kurang baik; dan kurang pembinaan moral dan agama, membantu tumbuh kembangnya
kenakalan atau perolehan kompetensi perilaku sosial yang jelek (Hallahan &
Kauffman, 1991).[11]
c.
Lingkungan Sekolah
Sekolah sebagai
lingkungan pendidikan kedua setelah keluarga mempunyai tugas membantu
aspek-aspek kepribadian anak didiknya. Kegagalan sekolah untuk memenuhi tugas
dan kewajibannya akan menimbulkan problem tingkah laku pada anak didiknya. Beberapa
aspek berkaitan dengan sekolah yang dapat menyebabkan terjadinya ketunalarasan
antara lain : hubungan sosial guru dan murid yang kurang harmonis; tuntutan
kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat ;perkembangan anak, hubungan antar
teman sebaya yang kurang baik (Moerdiani, 1987); kurang perhatian guru terhadap
hal-hal yang bersifat positif dan kontruktif; serta kurangnya sarana dan prasarana
pengembangan kreativitas dan aktivitas.[12]
d.
Lingkungan Masyarakat
Standar perilaku dan
nilai yang menjadi acuan tindakan yang dikomunikasikan kepada anak melalui
berbagai variasi kondisi budaya, di dalamnya menyangkut tuntutan, larangan,
model, atau beberapa model budaya khusus yang dapat mempengaruhi lompatan
mental seperti macam-macam kekerasan yang ditampilkan melalui media (terutama
televisi dan gambar hidup lainnya), memberikan kontribusi yang besar lahirnya
perilaku menyimpang (Hallahan & Kauffman, 1991).
Contoh hasil studi
tentang ekspresi perilaku agresif orang dewasa kepada boneka yang ditayangkan
melalui dua versi film (film kartun bertema kekerasan dan tanpa kekerasan),
hasilnya ternyata anak yang menonton film kartun tema kekerasan lebih agresif
dalam interaksinya dengan temannya, dan anak yang menonton film kartun tanpa kekerasan
menunjukkan perubahan dalam agresi interpersonal (Cosby, 1985; Atkinson, 1999).[13]
D. KARAKTERISTIK ANAK TUNALARAS
Karakteristik yang dikemukakan oleh Hallahan &
Kauffman (1986), berdasarkan dimensi tingkah laku anak tunalaras adalah sebagai
berikut :
1.
Anak yang mengalami kekacauan tingkah
laku, memperlihatkan ciri-ciri antara lain : suka berkelahi, memukul,
menyerang, mengamuk, membangkang, menantang, merusak milik sendiri atau milik
orang lain, kurang ajar, lancang, melawan, tidak mau bekerja sama, tidak mau
memperhatikan, dan lain-lain.
2.
Anak yang sering merasa cemas dan
menarik diri, dengan ciri-ciri : khawatir, cemas, ketakutan, kaku, pemalu,
segan, menarik diri, terasing, tak berteman, rasa tertekan, sedih, terganggu,
rendah diri, dingin, malu, kurang percaya diri, mudah bimbang, sering menangis,
pendiam, dan suka berahasia.
3.
Anak yang kurang dewasa, dengan
ciri-ciri : yaitu pelamun, kaku, berangan-angan, pasif, mudah dipengaruhi,
pengantuk,pembosan, dan kotor.
4.
Anak yang agresif bersosialisasi, dengan
ciri-ciri, yaitu mempunyai komplotan jahat, mencuri bersama kelompoknya, loyal
terhadap teman nakal, berkelompok dengan geng, suka diluar rumah sampai larut
malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.
Berikut ini akan dikemukakan karakteristik yang berkaitan
dengan segi akademik, sosial/emosional, fisik/kesehatan anak tunalaras.
1.
Karakteristik Akademik
Kelainan perilaku akan
mengakibatkan adanya penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibat
penyesuaian yang buruk tersebut maka dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri antara
lain sebagai berikut :
a.
Pencapaian hasil belajar yang jauh
dibawah rata-rata
b.
Seringkali dikirim ke kepala sekolah
atau ruangan bimbingan untuk tindakan discipliner.
c.
Seringkali tidak naik kelas atau bahkan
ke luar sekolahnya
d.
Sering kali membolos sekolah
e.
Lebih sering dikirim ke lembaga
kesehatan dengan alasan sakit, perlu istirahat, dan lain-lain.
2. Karakteristik
Sosial/Emosional
Karakteristik
sosial/emosional anak tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Karakteristik
sosial
1) Masalah
yang menimbulkan gangguan bagi orang lain, dengan ciri-ciri : perilaku tidak
diterima oleh masyarakat dan biasanya melanggar norma budaya, dan perilaku
melanggar aturan keluarga, sekolah, dan rumah tangga.
2) Perilaku
tersebut ditandai dengan tindakan agresif, yaitu tidak mengikuti aturan,
bersifat mengganggu, mempunyai sikap membangkang atau menentang, dan tidak
dapat bekerja sama.
b. Karakteristik
emosional
1) Adanya
hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, seperti tekanan batin dan rasa
cemas.
2) Adanya
rasa gelisah, seperti rasa malu, rendah diri, ketakutan, dan sangat sensitif
atau perasa.
c. Karakteristik
Fisik/Kesehatan
Karakteristik
fisik/kesehatan anak tunalaras ditandai dengan adanya gangguan makan, gangguan
tidur, dan gangguan gerakan. Seringkali anak merasakan ada sesuatu yang tidak
beres pada jasmaninya, ia mudah mendapat kecelakaan, merasa cemas terhadap
kesehatannya, merasa seolah-olah sakit. Kelainan lain yang berwujud kelainan
fisik, seperti gagap, buang air tidak terkendali, sering mengompol dan jorok.[14]
E. PERKEMBANGAN KOGNITIF (FUNGSI
KECERDASAN) ANAK TUNALARAS
Dalam berbagai riset IQ, anak tunalaras rata-rata
berada pada rentangan dull normal
(sekitar IQ 90), dan hanya sedikit yang berada di atas normal (cerdas). Salah
satu tolok ukur kecerdasan adalah prestasi belajar. Namun keadaan tersebut
tidak dapat diberlakukan pada anak tunalaras. Misalnya prestasi anak tunalaras
rendah, hal itu tidak dapat dijadikan acuan kecerdasan anak tunalaras sebab
prestasi belajar anak tunalaras seringkali mengalami under achiever (prestasi belajar di bawah kemampuan yang
sebenarnya). Hal ini dapat diperbaiki melalui remedial atau layanan khusus.[15]
Moerdiani (1987) menilai bahwa rendahnya prestasi
belajar anak tunalaras di sekolah diduga karena kehilangan minat belajar dan
konsentrasi belajar rendah akibat gangguan emosi. Di samping itu, mereka pada
umumnya membenci sekolah sebab sekolah menuntut anak tunalaras untuk mentaati
peraturan atau norma-norma yang berlaku.[16]
F. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK
TUNALARAS
Dalam perkembangannya, kepribadian tiap individu
sangat beragam. Erickson berpendapat bahwa identitas pribadi manusia tumbuh dan
terbentuk melalui perkembangan proses krisis psikososial yang berlangsung dari
fase ke fase. Asumsinya, bahwa setiap individu yang sedang berkembang dipaksa
harus menyadari dan berinteraksi dengan lingkungan sosial yang semakin luas.
Jika individu yang bersangkutan mampu mengatasi krisis psikososial yang muncul
secara tepat, berarti ia mampu mengaktualisasikan kepribadiannya secara
optimal. Sebaliknya, jika ia tidak mampu mengatasi krisis psikososial tersebut
dengan baik, maka ia akan larut ditelan arus kehidupannya yang terus berkembang
( Makmun, 1990).[17]
Anak yang mengalami kelainan perilaku, kehidupan
emosi atau perkembangan sosialnya berada dalam rentangan yang tidak
menyenangkan. Hal ini disebabkan karena mereka pada umumnya tidak mampu
mengintegrasikan fungsi-fungsi psikofisiknya untuk memahami diri dan
lingkungannya, akibatnya mereka menunjukkan kepribadian yang pasif maupun
kepribadian yang agresif. Beberapa ciri yang tampak menonjol pada kepribadian
anak tunalaras antara lain :
1.
Kurang percaya diri
2.
Menunjukkan sikap curiga pada orang lain
3.
Selalu dihinggapi perasaan rendah diri
4.
Selalu menunjukkan permusuhan terhadap
orang lain
5.
Suka melawan otorita, dan lain-lain (Moerdani,
1987).[18]
G. PERKEMBANGAN PENYESUAIAN SOSIAL
ANAK TUNALARAS
Secara umum, kebutuhan dasar individu (basic needs) dapat menjadi kebutuhan
primer (survival needs) dan sekunder
(pelengkap). Dalam setiap proses pemenuhan kebutuhan, seseorang seringkali
harus berhadapan dengan sejumlah alternatif, baik yang berkenaan dengan instrumental behavior (kemungkinan
tindakan yang akan ditempuh) maupun goals
(tujuan yang hendak dicapai) dengan memperhitungkan untung ruginya (Makmun,
1990).[19] Apabila
dalam proses tersebut mereka mampu menyelesaikan rintangan yang menjadi
hambatan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan sebagai dasar dalam proses
penyesuaian diri, maka ia telah melakukan tindakan penyesuaian yang sehat
rasional sehingga mencapai tujuan (adjusted).
Akan tetapi, jika mereka tidak dapat mengatasi tantangan yang menghadang, maka
ia akan mengalami kekecewaan yang mendalam (frustasi).
Tantangan sebagai penyebab timbulnya frustasi dapat
bersumber pada diri pribadi, orang lain, peristiwa tertentu, dan lain-lain.
Sedangkan intensitas dan ragamnya tergantung pada kemampuan akal sehat yang
bersangkutan.
Anak tunalaras dalam melewati proses penyesuaian
seperti digambarkan sebelumnya, kerapkali mengalami kegagalan dalam
menyelesaikan tantangan yang selalu merintangi dalam upaya penyesuaian terhadap
lingkungan secara tepat dan harmonis. Kegagalan anak tunalaras untuk melakukan
penyesuaian dapat memberi peluang bagi tumbuh kembangnya perilaku menyimpang
sebagai bagian dari kompensasinya.
Di sinilah persoalannya, di satu sisi, sebagai
bagian integral dari kelompok masyarakat yang berbudaya, anak tunalaras
dituntut untuk melakukan penyesuaian secara adekuat (memenuhi syarat/ memadai),
tetapi di sisi lain, apa yang dilakukan anak tunalaras tidak jarang menimbulkan
masalah, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan
karena apa yang diupayakan oleh anak tunalaras dianggap kurang efektif dan
selaras dengan tuntutan atau norma yang berlaku di lingkungannya. Bahkan
beberapa tingkatan tertentu apa yang telah dilakukan oleh anak tunalaras telah
mengarah pada tindakan antisosial sehingga peran pembimbing betul-betul
dituntut lebih aktif dalam membantu anak tunalaras dalam upayanya untuk
mengurangi dan menghilangkan kecenderungan bertindak menyimpang dan merugikan
semua pihak.[20]
H. PERKEMBANGAN EMOSI ANAK TUNALARAS
Terganggunya perkembangan emosi merupakan penyebab
dari tingkah laku anak tunalaras. Ciri yang menonjol pada mereka adalah
kehidupan emosi yang tidak stabil, ketidakmampuan mengekspresikan emosinya
secara tepat, dan pengendalian diri yang kurang sehingga mereka seringkali
menjadi sangat emosional. Terganggunya kehidupan emosi ini terjadi sebagai
akibat ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan.
Kematangan emosional seorang anak ditentukan dari
hasil interaksi dengan lingkungannya, di mana anak belajar tentang bagaimana
emosi itu hadir dan bagaimana cara untuk mengekspresikan emosi-emosi tersebut.
Perkembangan emosi ini berlangsung terus menerus sesuai perkembangan usia, akan
semakin banyak pengalaman emosional yang
diperoleh anak, ia semakin banyak pula merasakan berbagai macam perasaan.
Akan tetapi tidak demikian dengan anak tunalaras, ia
tidak mampu belajar dengan baik dalam merasakan dan menghayati berbagai macam
emosi yang mungkin dapat dirasakan, kehidupan emosinya kurang bervariasi
dan ia pun kurang dapat mengerti dan menghayati perasaan orang lain. Mereka
juga kurang mampu mengendalikan emosinya dengan baik sehingga seringkali
terjadi peledakan emosi. Ketidakstabilan emosi ini menimbulkan penyimpangan
tingkah laku, misalnya: mudah marah dan mudah tersinggung, kurang mampu
memahami perasaan orang lain, berperilaku agresif, menarik diri, dan
sebagainya. Perasaan-perasaan seperti itu akan mengganggu situasi belajar dan
akan mengakibatkan prestasi belajar yang tidak sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.[21]
I. DAMPAK KETUNALARASAN BAGI INDIVIDU
DAN LINGKUNGAN
Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras
mempunyai dampak negatif bagi dirinya sendiri maupun lingkungan
sosialnya. Perasaan tidak berguna bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak
percaya diri, perasaan bersalah menyebabkan mereka merasakan adanya jarak
dengan lingkungannya. Salah satu dampak serius yang mereka alami adalah tekanan
batin berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan merusak diri mereka sendiri.
Bila mereka kurang mendapatkan perhatian dan penanganan dengan segera, maka mereka
akan semakin terperosok dalam jarak yang memisahkan mereka dari lingkungannya.[22]
J. LAYANAN BAGI ANAK TUNALARAS
1.
Jenis - jenis
layanan
Dalam buku pengantar
pendidikan luar biasa dikemukakan beberapa hal, seperti berikut :
a.
Mengurangi
atau menghilangkan kondisi yang tidak menguntungkan yang menimbulkan atau
menambah adanya gangguan perilaku.
Kauffman (1985)
mengemukakan ada enam kondisi yang menyebabkan ketunalarasan dan kegagalan
belajar, yaitu:
1)
Guru yang tidak sensitif terhadap
kepribadian anak
2)
Harapan guru yang tidak wajar
3)
Pengelolaan belajar yang tidak konsisten
4)
Pengajaran keterampilan yang tidak
relevan atau nonfungsional
5)
Pola reinforcement
yang keliru, misalnya diberikan pada saat anak berperilaku tidak wajar
6)
Model/contoh yang tidak baik dari guru
dan dari teman sebaya.
Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan
tersebut agar dihindari sehingga tidak terjadi perkembangan anak ke arah
penyimpangan perilaku dan kegagalan akademiknya. Lingkungan sekolah yang ditata
dengan baik akan menyenangkan anak belajar dan terhindar dari perasaan bosan,
lelah, serta tingkah laku yang tidak wajar.
b.
Menentukan
model-model dan teknik pendekatan
1)
Model
pendekatan
Sehubungan
dengan model yang digunakan dalam memberikan layanan kepada anak tunalaras,
Kauffman (1985) mengemukakan jenis-jenis model pendekatan sebagai berikut :
a)
Model biogenetic
Model
ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku disebabkan oleh
kecacatan genetik atau biokimiawi sehingga penyembuhannya ditekankan pada
pengobatan, diet, olahraga, operasi, atau mengubah lingkungannya.
b)
Model behavioral (tingkah laku)
Model
ini mempunyai asumsi bahwa gangguan emosi merupakan indikasi ketidakmampuan
menyesuaikan diri yang terbentuk, bertahan, dan mungkin berkembang karena
berinteraksi dengan lingkungan, baik di sekolah maupun di rumah. Oleh karena
itu, penanganannya tidak hanya ditujukan kepada anak tetapi pada lingkungan
tempat anak belajar dan tinggal.
c)
Model
psikodinamika
Model
ini berpandangan bahwa perilaku yang menyimpang atau gangguan emosi disebabkan
oleh gangguan atau hambatan yang terjadi dalam proses perkembangan kepribadian
karena berbagai faktor, sehingga kemampuan yang diharapkan sesuai dengan
usianya terganggu. Ada juga yang mengatakan adanya konflik batin yang tidak
teratasi. Oleh karena itu, untuk mengatasi gangguan perilaku tersebut dapat
diadakan pengajaran psikoedukasional, yaitu menggabungkan usaha membantu anak
dalam mengekspresikan dan mengendalikan perasaannya.
d) Model ekologis
Model
ini menganggap bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena adanya
disfungsi antara anak dengan lingkungannya. Oleh karena itu, model ini
menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar mengupayakan interaksi yang
baik antara anak dengan lingkungannya, misalnya dengan mengubah persepsi orang
dewasa tentang anak atau memodifikasi persepsi anak dengan lingkungannya.
Rhoden (1967) menyatakan bahwa masalah perilaku adalah akibat interaksi
destruktif antara anak dengan lingkungannya (keluarga, teman sebaya, guru, dan
sekelompok kebudayaannya).
2)
Teknik
pendekatan
Beberapa
teknik pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah perilaku, di antaranya
adalah sebagai berikut :
a)
Perawatan
dengan obat
Kavale
dan Nye (1984) mengemukakan bahwa obat-obatan dapat mengurangi atau
menghilangkan gangguan perilaku, seperti adanya perbaikan perhatian, hasil
belajar dan nilai tes yang baik, serta anak hiperaktif menuju ke arah
perbaikan.
b)
Modifikasi
perilaku
Salah
satu teknik yang banyak dilakukan untuk mendorong perilaku prososial dan
mengurangi perilaku antisosial adalah penyesuaian perilaku melalui operant conditioning dan task analysis (analisis tugas). Dengan operant conditioning kita mengendalikan
stimulus yang mengikuti respons. Ada beberapa langkah melakukan modifikasi
perilaku, yaitu: menjelaskan perilaku yang akan diubah, menyediakan bahan yang
mengharuskan anak untuk duduk diam, dan mengatakan perilaku yang diterima. Task
analysis dilaksanakan dengan cara menata tujuan dan tugas dengan lengkap,
membuat tugas dengan terperinci sehingga anak dapat melakukannya, kemudian anak
mengerjakan tugas itu dalam jangka waktu tertentu. Berikanlah pujian bila anak
berhasil dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
c)
Strategi psikodinamika
Tujuan
utama pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi sadar akan
kebutuhannya, keinginannya, dan kekuatannya sendiri. Penganjur strategi ini
menyarankan agar dilakukan evaluasi diagnostik, perawatan, pengambilan
keputusan, dan prosedur psikiatrik. Mereka melihat bahwa perilaku maladaptive adalah pertanda konflik
jiwa. Mereka percaya bahwa penyingkiran suatu gejala tanpa menghilangkan
penyebabnya hanya akan menyebabkan penggantian dengan gejala lainnya.
d) Strategi
ekologi
Pendukung
strategi ini mengasumsikan bahwa dengan diciptakannya lingkungan yang baik maka
perilaku anak akan baik pula.
2.
Tempat layanan
Tempat
layanan pendidikan bagi anak yang mengalami gangguan perilaku adalah
ditempatkan di sekolah khusus dan ada pula yang dimasukkan dalam kelas-kelas
biasa yaitu belajar bersama-sama dengan anak normal. Berikut ini akan
dikemukakan macam-macam tempat pendidikan anak tunalaras.
a.
Tempat khusus
Tempat
ini dikenal dengan Sekolah Luar Biasa Anak Tunalaras (SLB-E). Sama halnya
dengan sekolah luar biasa yang lain, SLB-E memiliki kurikulum dan struktur
pelaksanaan yang disesuaikan dengan keadaan anak tunalaras. Anak yang diterima
pada lembaga khusus ini biasanya anak yang mengalami gangguan perilaku yang
sedang dan berat. Maksudnya perilaku anak telah mengarah pada tindakan kriminal
dan sangat mengganggu lingkungannya. Pelaksanaan pendidikan anak tunalaras
dapat dilihat pada pelaksanaan pendidikan anak luar biasa jenis lainnya, karena
prinsipnya adalah sama.
b.
Tempat
integrasi (terpadu)
Dari
banyak jenis anak tunalaras, ada 3 jenis, yaitu hiperaktif, distraktibilitas,
dan impulsivilitas yang kemungkinan banyak dijumpai di sekolah biasa (umum), di
mana mereka belajar bersama-sama dengan anak normal.
3.
Macam-macam layanan
Di
dalam pelaksanaan layanan pendidikan, kita mengenal macam-macam bentuk
penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras/sosial sebagai berikut:
a.
Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan
di sekolah reguler
b.
Penyelenggaraan bimbingan di kelas
khusus, apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu
kelas. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang
PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap
membimbing anak.
c.
Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras
tanpa asrama, bagi anak tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kawan
yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
d.
Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang
kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan
orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak
secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk
keperluan penyuluhan.[23]
K. PAI UNTUK ANAK TUNALARAS
Tujuan
Pendidikan Agama Islam adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan
bertakwa, yang memiliki akhlak mulia, sehingga selamat di dunia dan di akhirat.
Tujuan
PAI pada anak tunalaras adalah agar mereka mampu mengatasi masalah emosi
sosialnya, sehingga mereka bisa memiliki akhlak yang baik, yang bisa mereka
terapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Untuk mencapai tujuan itu, ada
beberapa pendekatan dan juga metode yang bisa digunakan , antara lain :
1.
Pendekatan
a.
Pendekatan Pengalaman
Pendekatan
ini merupakan pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka
penanaman nilai-nilai keagamaan. Dengan pendekatan ini peserta didik diberi
kesempatan untuk mendapatkan pengalaman keagamaan baik secara individual maupun
kelompok.
b.
Pendekatan
Pembiasaan
Pendekatan
ini dimaksudkan agar seseorang memiliki kebiasaan berbuat hal-hal yang baik
sesuai dengan ajaran agama Islam. Edi Suardi dalam bukunya, Pedagogik 2,
menjelaskan bahwa ”kebiasaan itu adalah suatu tingkah laku tertentu yang
sifatnya otomatis, tanpa direncanakan dulu, serta berlaku begitu saja tanpa
dipikir lagi” ( Edi Suardi, tt : 123 ). Pembiasaan memberikan kesempatan kepada
peserta didik terbiasa mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Pendekatan
Emosional
Emosi
merupakan gejala kejiwaan yang ada di dalam diri seseorang. Emosi tersebut
berhubungan dengan masalah perasaan. Karena itu pendekatan emosional merupakan
”usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran
Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk ” ( Ramayulis,
2005 : 129 ). Emosi berperan dalam pembentukan kepribadian seseorang, oleh
karena itu pendekatan emosional merupakan salah satu pendekatan dalam
Pendidikan Agama Islam.
d.
Pendekatan
Rasional
Pendekatan rasional
merupakan suatu pendekatan yang mempergunakan rasio ( akal ) dalam memahami dan
menerima suatu ajaran agama. Dengan mempergunakan akalnya seseorang bisa
membedakan mana yang baik, mana yang lebih baik, atau mana yang tidak baik.
e.
Pendekatan
Fungsional
Pendekatan
ini merupakan upaya memberikan materi pembelajaran dengan menekankan kepada
segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran
dan bimbingan untuk melakukan shalat misalnya, diharapkan berguna bagi
kehidupan seseorang, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan
sosial. Melalui pendekatan fungsional ini berarti peserta didik dapat
memanfaatkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
f.
Pendekatan
Keteladanan
Pendekatan
keteladanan adalah memperlihatkan keteladanan atau memberikan contoh yang baik.
Guru yang senantiasa bersikap baik kepada setiap orang misalnya, secara
langsung memberikan keteladanan bagi anak didiknya. Keteladanan pendidik
terhadap anak didiknya merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan
keberhasilan pembelajaran. Hal ini disebabkan karena guru akan menjadi tokoh
identifikasi dalam pandangan anak yang akan dijadikannya sebagai teladan dalam
mengidentifikasikan diri dalam kehidupannya.[24]
2.
Metode
a. Metode Dialog Qur’āni dan Nabawi
Metode
dialog qur’āni dan nabawi adalah metode pendidikan dengan cara berdiskusi
sebagaimana yang digunakan oleh Alquran dan atau hadis-hadis nabi. Metode ini,
disebut pula metode khiwār yang meliputi dialog khitābi dan ta’abbudi
(bertanya dan lalu menjawab); dialog deskriptif dan dialog naratif
(menggambarkan dan lalu mencermati); dialog argumentatif (berdiskusi lalu
mengemukakan alasan kuat); dan dialog Nabawi (menanamkan rasa percaya diri,
lalu beriman). Untuk yang terakhir ini, (dialog Nabawi) sering dipraktekkan
oleh sahabat ketika mereka bertanya sesuatu kepada Nabi saw.
b. Metode Kisah Qur’āni dan Nabawi
Metode
kisah disebut pula metode “cerita” yakni cara mendidik dengan
mengandalkan
bahasa, baik lisan maupun tertulis dengan menyampaikan pesan dari sumber pokok
sejarah Islam, yakni al-Qur’an dan Hadis.
c. Metode Perumpamaan
Metode
ini, disebut pula metode “amtsāl” yakni cara mendidik dengan memberikan
perumpamaan, sehingga mudah memahami suatu konsep. Perumpamaan yang diungkapkan
al-Qur’an memiliki tujuan edukatif yang ditunjukkan oleh kedalaman makna dan
ketinggian maksudnya.
d. Metode Keteladanan
Metode
ini, disebut pula metode “meniru” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran
dengan cara pendidik memberikan contoh teladan yang baik kepada anak didik.
e. Metode Ibrah dan Mau’izhah
Metode
ini, disebut pula metode “nasehat” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran
dengan cara pendidik memberikan motivasi. Metode ibrah dan atau mau’izhah
(nasehat) sangat efektif dalam pembentukan keimanan, mempersiapkan moral,
spiritual dan sosial anak didik. Nasehat dapat membukakan mata anak didik
terhadap hakekat sesuatu, serta memotivasinya untuk bersikap luhur, berakhlak
mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam.
f. Metode Targhib dan Tarhib
Metode ini,
disebut pula metode “ancaman” dan atau “intimidasi” yakni suatu metode
pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan hukuman atas
kesalahan yang dilakukan peserta didik.[25]
Pendidikan
Agama Islam untuk anak tunalaras diberikan secara berangsur-angsur dan
perlahan, disesuaikan dengan kondisi emosi dan sosial mereka. Dengan demikian
diharapkan agar mereka bisa memperbaiki keadaan jiwa mereka, dan semakin lama
semakin siap untuk memiliki akhlak yang baik, yang sesuai dengan norma-norma
yang berlaku, sehingga mereka bisa diterima oleh masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Anak
Tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan
dari peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, dengan
frekuensi yang cukup besar sehingga membuat kesulitan baik bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain.
Ditinjau
dari sumber pemicunya, anak tunalaras terbagi menjadi dua, yaitu anak yang
mengalami gangguan emosi dan anak yang mengalami gangguan sosial, di mana anak
yang mengalami gangguan emosi dalam konteks yang lebih besar dapat mengalami gangguan
sosial.
Faktor-faktor
yang menimbulkan ketunalarasan terbagi menjadi dua, yaitu yang berupa faktor
internal, seperti : keturunan, psikologis, dan biologis; serta faktor eksternal,
seperti : psikososial, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat.
Anak
tunalaras memiliki karakteristik berupa kekacauan tingkah laku, perasaan cemas
dan menarik diri, anak yang kurang dewasa, dan anak yang agresif bersosialisasi.
Dari
segi kognitif, prestasi anak tidak bisa dijadikan tolok ukur kecerdasannya.
Perkembangan kepribadian anak tunalaras bisa berupa kepribadian yang pasif,
atau kepribadian yang agresif. Anak tunalaras sering mengalami kegagalan dalam
upaya penyesuaian terhadap lingkungan secara tepat dan harmonis, sehingga
mengganggu perkembangan kehidupan sosialnya. Emosi anak tunalaras tidak stabil,
mereka tidak mampu mengekspresikan emosi secara tepat, dan pengendalian diri
yang kurang sehingga mereka menjadi emosional.
Ketunalarasn
berdampak baik bagi diri anak tunalaras sendiri maupun bagi orang lain.
Ketunalarasan membuat anak tunalaras membuat jarak dengan lingkungannya, dan
juga menimbulkan tekanan batin yang berkepanjangan sehingga menimbulkan
perasaan merusak diri sendiri.
Usaha
untuk memperbaiki kondisi emosi sosial anak tunalaras antara lain dengan cara
menghilangkan kondisi yang menimbulkan gangguan perilaku, menentukan model dan
teknik pendekatan yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah perilaku,
memberikan tempat layanan yang memadai, dan memberikan layanan sesuai dengan
kondisi anak, serta memberikan bimbingan pendidikan agama Islam untuk
memperbaiki akhlak anak tunalaras, sehingga mereka memiliki akhlak yang mulia,
yang bermanfaat bagi keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.
B. SARAN
Anak
tunalaras merupakan bagian yang tidak bisa dipungkiri dalam dunia kehidupan
kita. Sebagai masyarakat pada umumnya, dan tenaga pendidik pada khususnya,
sudah seharusnya kita mengenali anak tunalaras, agar kita bisa mengerti masalah
yang mereka hadapi, dan kita bisa membantu mereka mengatasi masalahnya
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Mohammad Efendi, M. Pd., M. Kes., Pengantar
Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2009
Phierquinn,
anak tuna laras dan karakteristiknya, 2012, http://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/
Abdul
Azis, Pendekatan dalam Pembelajaran PAI,
2009, http://islamblogku.blogspot.com/2009/08/pendekatan-dalam-pembelajaran-pai.html
Tuan
Guru, Metode Pembelajaran dalam PAI,
2012, http://www.tuanguru.com/2011/11/metode-pembelajaran-dalam-pendidikan-agama-islam.html
[1]
Dr. Mohammad Efendi, M. Pd., M. Kes., Pengantar
Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm 143
[2] Ibid, hlm 145
[3]Ibid, hlm 146
[4]Ibid, hlm 144
[5]Ibid, hlm 145
[6]Ibid, hlm 146-147
[7]Ibid, hlm 148
[8]Ibid, hlm 148-149
[9]Ibid, hlm 149
[10]Ibid, hlm 149-150
[11]Ibid, hlm 150
[12]Ibid, hlm 150-151
[13]Ibid, hlm 151
[14]Phierquinn, anak tuna laras dan karakteristiknya, 2012, http://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/
[15]
Dr. Mohammad Efendi, M. Pd., M. Kes,. Pengantar Psikopedagogik Anak
Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm 154-155
[16]Ibid, 2009, hlm 155
[17]
Ibid, hlm 156
[18]Ibid, hlm 156
[19]Ibid, hlm 157
[20]
Ibid, hlm 157-159
[21]
Phierquinn,
Anak Tunalaras dan Karakteristiknya,
2012, http://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/
[22]Ibid
[23]Ibid
[24]
Abdul Azis, Pendekatan dalam Pembelajaran
PAI, 2009, http://islamblogku.blogspot.com/2009/08/pendekatan-dalam-pembelajaran-pai.html
[25]
Tuan Guru, Metode Pembelajaran dalam PAI,
2012, http://www.tuanguru.com/2011/11/metode-pembelajaran-dalam-pendidikan-agama-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar